Kamis, 21 Maret 2013

RIWAYAT DAN HIKAYAT KONGCO PO SENG TAY TE

RIWAYAT DAN HIKAYAT KONGCO PO SENG TAY TE

Ivan Taniputera
21 Maret 2013



Hari ini saya mendapatkan buku yang bagus berjudul "Riwayat dan Hikayat Po Seng Tay Te." Buku setebal 102 halaman ini mengulas mengenai seluk dan riwayat Kongco Po Seng Tay Te (保生大帝 = Baosheng Dadi dalam dialek Mandarin). Buku ini sebenarnya merupakan kumpulan tulisan mengenai Baosheng Dadi.

Pada halaman pertama dibuka dengan ulasan mengenai sejarah agama Dao karya Zheng Bingshan:

"Agama Tao tidak hanya bersejarah panjang di daratan China, ia juga mempunyai pengaruh luas di mancanegara. Seorang dokter tradisional yang sangat populer pada dinasti Song [960-1279], Wu Dao 吳本, telah disucikan sebagai dewa dan disembah oleh Taoisme, nama sekulernya Wu Zhenren, Dadaogong atau Baosheng Dadi. Etnis China di mancanegara juga banyak yang menyembah dewa ini. Bersama ini kami menjabarkan sekelumit keterkaitan Taoisme, Wu Dao, dan perantau China.

Agama Tao sudah populer pada awal era feodalisme dalam sejarah China. Pakar sejarah dan kalangan Tao sama sepakat bahwa Taoisme sudah muncul di masa Kaisar Shundi, dinasti Donghan [126-144], kini lebih dari 18 abad. Tetapi jika dihitung dari akar budaya menyembah roh halus dan dewa kayangan sejak masa dinasti Yinshang, maka agama Tao boleh dikata sudah populer lebih dari 20 abad.

Buddha dan Tao merupakan dua agama besar dalam sejarah panjang dinasti-dinasti feodalisme di China. Ajaran Tao berpengaruh besar di bidang politik, ekonomi, filsafah dan kebudayaan masa feodal, meninggalkan banyak buku dan arsip sebagai warisan sejarah kebudayaan purba.

Ajarah Tao membawa cirikhas konsepsi agama primordial di China, yaitu asimilasi tiga konsep agama kuno: sembah roh dan dewa; menekuni pertapaan dan pencarian formula sakti; mengadopsi unsur mistik dalam ajaran Huangdi dan Laozi.

Pada halaman 2 dan 3 diuraikan mengenai sejarah Tao di Quanzhou, Fujian:

"Sejak tahun Taikang-9 dinasti Xijin [288], di sini sudah berdiri klenteng Baiyunmiao 白云廟, sampai dinasti Tang nama ini diganti Longyuguan 龍與觀 [705], kemudian diganti lagi menjadi Kaiyuanguan 開元觀 [739]. Jika dihitung semua klenteng besar-kecil yang dibangun sejak dinasti Jin, Tang, Yuan, Ming, sampai Manqing, maka Quanzhou ada 120 lebih klenteng Tao hingga sekarang. Mural raksasa Tebing Laozi, warisan Song kini masih berdiri dan ramai dikunjungi.

Di kota Quanzhou masih ada satu kelenteng Cijigong, yang disebut juga Kios Jembatan Kembang atau klenteng Raja. Nama klenteng di pintu gapura ditulis oleh maestro kaligrafer dinasti Ming, Zhang Ruitu, di atas batu hijau yang berbunyi Rumah Tinggal Manusia Sejati. Dewa yang disembah di klenteng ini Wu Zhenren, Baosheng Dadi, Wu Zhenjun, Wu Dijun, Dadaogong atau Huaqiaugong dsb. Semua gelar di atas adalah milik Wu Dao, alias Huaji atau Yunchong, lahir di Kab. Longhai, kota Zhangzhou, luar kalender [imlek] tanggal 15 bulan ke03 tahun Taiping Xingguo ke-4 dinasti Beisong (14 April 979) di suatu keluarga petani miskin. Ayahnya bernama Wu Tong, ibunya dari marga Huang. Kedua orang tuanya mati muda karena sakit dan tiada pengobatan. Maka Wu Dao sejak kecil hidup sebatang kara dan menderita. Ia bertekad belajar ilmu pengobatan guna menolong rakyat yang sakit dan menderita agar nasib kedua orang tua tidak terulang.

Wu Dao pergi merantau mencari ilmu, belajar pada dokter-dokter di manapun mereka berada, merekam resep-resep tradisional, mengoleksi berbagai ramuan dalam praktek pengobatan keliling. Lama-kelamaan ia semakin pandai dalam pengobatan, menguasai pula farmakognosi dan San Wu Feibu 三五飛步, metoda Qigong. Maka ia pulang ke kampung halaman, mendirikan klinik di bawah bukit Zhishan Dongmingling yang kaya ditumbuhi berbagai ramuan, membuat sumur untuk pengolahan obat. Semua penderita sakit yang datang disembuhkan. Kinipun masih ada sebuah prasasti batu bertuliskan Sumur Medis Sumber Ramuan yang berdiri tegak di sana."

Oleh karenanya berdasarkan kutipan di atas kita mengetahui bahwa niat Wu Dao mempelajari ilmu pengobatan sangatlah mulia dan patut diteladani. Wu Dao mengobati orang tanpa memandang kaya ataupun miskin, sehingga praktik pengobatannya makin ramai didatangi orang. Semua pasien disembuhkannya tanpa memungut biaya. Oleh sebab itu, Wu Dao makin dicintai rakyat dan digelari sebagai Tabib Ajaib.

Nama besar Beliau makin tersebar luas hingga sampai ke telinga kaisar. Pada halaman 3dan 4 kita membaca:

"....ia dipanggil Kaisar Song Renzhong [1023-1064] ke istana guna mengobati sang ratu yang sedang menderita sakit. Tangan ratu tidak boleh dipegang, maka tabib (diagnosa denyut nadi) dilakukan dengan benang diikat pada nadi ratu dan ujung dipegang Wu Dao untuk deteksi. Sang kaisar-ratu ingin menguji ilmu Wu Dao, maka benang diikat bukan pada nadi ratu tetapi kaki seekor kucing, Wu Dao langsung tahu bukan denyut manusia yang dirasa, maka ia menyahut: Saya bukan dokter hewan lho. Ikatan benang langsung dipindah ke tangan ratu. Sakitnya ratu akhirnya terdeteksi dan berhasil disembuhkan. Kaisar gembira, kagum setengah mati dan menganugerahi gelar Wu Zhenren 吳真人. Peristiwa ini juga termuat dalam buku Kenangan Paguyuban Jinjiang 晉江 1978 di Singapura. Konon kaisar ingin Wu Dao tinggal di istana sebagai dokter kerajaan, tetapi ditolak halus. Wu Dao memang sudah bertekad ingin terus mengabdi pada rakyat banyak. Tidak mau dibonzai dalam istana raja yang hanya melayani segelintir orang saja."

Buku itu di halaman 7 juga memuat hal menarik sebagai berikut:

"Yang lebih menarik ialah patung Mazu di klenteng Tianhoumiao, kota Tongan di Filipina, mulanya adalah patung Bunda Maria milik masyarakat Dayak setempat yang kemudian dimake up menjadi arca Mazu. Tak heran jika patung ini dinamai Mazu Kebarat-baratan karena paras muka masih kelihatan bule. Tempat sembahyang Lingxiao Baodian di Klenteng Baochigong, Singapura, ternyata ada beberapa arca Buddha di sana. Pada hal tempat ibadah ini jelas-jelas milik umat Tao."

Kutipan di atas dengan jelas memberitahukan mengenai kasus yang unik di Filipina.


Pada halaman 9 dan 10 dipaparkan gelar-gelar Beliau yang diberikan oleh para kaisar:



Kini kita melangkah ke halaman 11. Pada bagian yang ditulis oleh Panitia Penerbitan klenteng Ciji Zugong itu menyebutkan mengenai hikayat dan riwayat Baosheng Dadi, antara lain adalah silsilah leluhur Beliau:

"Yang Mulia Baosheng Dadi nama sekulernya Dadaogong turunan kaisar Taibo dinasti Zhou [1066-256 SM]. Waktu pembagian kapling kerajaan dapat tanah di Jinling da mendirikan negara federal Wuxiang [sekarang Jiangxu]. Sampai turunan ke-31 mengadopsi Wu sebagai nama marga. Marga Wu terus berkembang hingga ada serumpun marga migrasi ke Kec. Baijiao inilah kemudian menjadi tempat lahir Baosheng Dadi, nama aslinya adalah Dao, alias Huaji. keluarga Wu suka beramal dan sudah menjadi tradisi turun temurun."

Disebutkan pula ayah Beliau yang bernama Tong 通, merupakan orang yang rajin dan hidup sederhana. Beliau kemudian menerima gelar  Xiecheng Yuanjun. Ayahnya merupakan orang gemar membentu orang lain. Ibu Beliau bermarga Huang 黃, yang konon merupakan penjelmaan Mahadewi Yuhua 玉華大仙. Beliau merupakan sosok yang anggup dan berbudi halus.

Beliau dilahirkan pada tanggal 15 bulan ke-3 penanggalan lunar tahun 979, pukul 7-9 pagi. Saat Beliau hendak dilahirkan ibunya bermimpi didatangi oleh pendeta Dao (道人) Changsu 太白金星 bersama Utusan Nanling dan Dewa Bintang Kutub Utara 北斗星君 yang mengantarkan seorang anak dewata, yang konon merupakan bintang Ziwei. Kelahiran Beliau juga merupakan peristiwa ajaib karena diiringi cahaya cemerlang beserta keharuman semerbak memenuhi kamar. Awan warna-warni tampak bermunculan.

Buku ini juga membahas mengenai kisah-kisah keajaiban yang Beliau lakukan, seperti mengalahkan siluman ular dan kura (halaman 30), tulisan Chen Shushuo.

Dengan demikian, buku ini sangat penting sekali dimiliki dan dibaca oleh penggemar sejarah dan budaya Tiongkok, pencinta hikayat dan riwayat para dewa dewi kelenteng, dan khususnya para pemuja Baosheng Dadi.


Bagi yang berminat kopi buku ini silakan hubungi ivan_taniputera@yahoo.com





Kami dengan gembira memberikan bimbingan belajar bagi siswa SD-SMP-SMU di Kota Semarang. Ada pun mata pelajarannya adalah:
  • MATEMATIKA
  • FISIKA
  • KIMIA
  • BAHASA INGGRIS
  • AKUNTANSI
Kami berpengalaman mengajar siswa-siswa sekolah favorit dan internasional.
Hubungi: Ivan (0816658902)
Email: ivan_taniputera@yahoo.com.

Selasa, 26 Februari 2013

TAKDIR VERSUS CISWA: SEBUAH RENUNGAN DARI KISAH THO HWA LI

TAKDIR VERSUS CISWA: SEBUAH RENUNGAN DARI KISAH THO HWA LI

Ivan Taniputera
27 Februari 2013

Dalam perjalanan ke delapan kelenteng beberapa waktu yang lalu, saya menemukan buku kisah Tho Hwa Li buah karya Gan KH ini. Sebenarnya saya sudah pernah mendengar mengenai kisah Tho Hwa Li semenjak masih kecil dan edisi lama buku ini saya sudah punya, namun kini tidak tahu lagi di mana keberadaannya. Oleh karenanya, penemuan kembali buku ini di salah sebuah kelenteng yang saya kunjungi merupakan peristiwa berharga. Kisah-kisah dalam tradisi Tiongkok memang sarat makna dan filsafat pemikiran.


Secara umum, dalam buku tersebut ada hal-hal menarik, seperti asal muasal tradisi ritual pengantin yang masih dilaksanakan hingga hari ini dan takdir versus ciswa. Kita akan mengulasnya satu persatu.

1.TAKDIR VERSUS CISWA

Sebelum mengulas mengenai topik bahasan ini. Saya akan memaparkan latar belakang kisahnya secara singkat. Ciu Kong adalah seorang mantan pembesar di masa pemerintahan Kaisar Ciu Yu Ong (781 SM) dari dinasti Ciu (Mandarin: Chou). Karena kaisar ke-12 ini hanya gemar bersenang-senang saja bersama selirnya bernama Po Su, Ciu Kong lantas mengundurkan dirinya. Sebenarnya Ciu Kong ini bukanlah nama pembesar tersebut. Namanya tidak disebutkan dalam buku ini. Ciu Kong adalah gelar yang dianugerahkan oleh Kaisar Yu Ong, sewaktu pembesar tersebut mengundurkan dirinya guna pulang ke desa. Arti telar itu adalah "Sesepuh Marga Ciu." (lihat halaman 3). Selain pemberian gelar kehormatan, Ciu Kong mendapatkan pula anugerah berupa pedang bernama Sian-cam-ho-cau (Bunuh Dulu Urusan Belakang). Ini menandakan bahwa pemegang pedang tersebut memiliki kekuasaan luar biasa.
Ciu Kong yang telah mengundurkan dirinya lantas membuka profesi sebagai juru ramal. Uniknya Ciu Kong akan memberikan ganti rugi yang besar jika ramalannya meleset (tiga ratus lima puluh tahil perak-halaman 6). Meskipun demikian, biaya meramalnya cukup rendah, yakni "tiga tahil setengah uang perak." (halaman 5). Dalam sehari, ia hanya menerima tiga orang saja yang hendak diramal. Sebagai juru penerima tamu, Ciu Kong mengangkat mantan juru tulisnya bernama Peng Cian.
Ramalan Ciu Kong memang terbukti keakuratannya. Kendati demikian dua kali ramalan Ciu Kong meleset, yakni:

a.Putera seorang nenek bernama Li Kho-cwan (halaman 16) yang diramal akan meninggal. Berkat kias yang diberikan Tho Hwa Li, nyawanya berhasil diselamatkan. Tho Hwa Li adalah gadis sakti yang pandai menciptakan beraneka macam kias. Caranya adalah bersembahyang dengan tiga batang dupa saat sore hari, lalu mengambil bantal anaknya, menepuk tiga kali pada bantal disertai seruan keras memanggil anaknya. Singkat cerita, memang kias atau penangkal ini terbukti kemanjurannya.

b.Peng Cian sendiri diramalkan akan meninggal oleh Ciu Kong. Namun Tho Hwa Li berhasil menyelamatkannya, yakni menyuruh Peng Cian menanti kehadiran Delapan Dewa di sebuah kuil. Ternyata usia Peng Cian dapat ditambah 80 tahun.

Kegagalan ramalannya ini menggusarkan hati Ciu Kong yang merasa otorita-nya tertantang. Ia lalu mencari cara membunuh Tho Hwa Li yang akan kita uraikan belakangan.

Kini kita akan mendiskusikan terlebih dahulu makna kisah ini. Tentu saja sebuah kisah dapat dimakna berbeda-beda bagi masing-masing orang. Kendati demikian saya lebih cenderung memaknainya berdasarkan pertanyaan klasik "Apakah nasib dapat diubah?" Ini adalah sebuah pertanyaan yang telah hadir semenjak zaman yang amat lampau. Sepanjang sejarahnya agama dan filsafat telah berupaya memberikan jawaban bagi hal ini, sehingga kita dapat menjumpai banyak teori tentangnya. Namun, semuanya itu akan tetap menjadi sebuah "hipotesa" yang tidak dapat kita buktikan kebenarannya. Mengapa? Karena kita tidak memiliki mesin waktu. Sebuah hipotesa baru akan terbukti jika sudah diuji dengan sebuah eksperimen. Jadi secara sederhana adalah sebagai berikut. Seorang melakukan tindakan A hingga akhirnya mendapatkan B. Namun kita tidak tahu, jika tidak melakukan A, apakah ia akan tetap mendapatkan B. Dalam kehidupan nyata, memang terdapat kasus-kasus di mana seseorang telah berupaya, namun tidak memperoleh hasil yang diharapkan. Sebaliknya, ada juga orang tidak berusaha, tetapi malah mendapatkan sesuatu yang diharapkannya. Karena kita tidak mampu mengujinya, pertanyaan apakah "nasib dapat diubah" akan tetap menjadi misteri umat manusia sampai ditemukannya mesin waktu; yakni satu-satunya alat yang dapat dipergunakan menguji berbagai kemungkinan pararel dalam kehidupan manusia. Untuk lebih jelasnya, pembaca dapat menonton film "Butterfly Effect." Apakah ciswa itu benar dapat mengubah nasib? Pertanyaan ini juga mustahil dijawab. Namun kisah di atas mencerminkan pertanyaan klasik tersebut, yakni takdir versus ciswa.

2.RITUAL-RITUAL UPACARA PERNIKAHAN TIONGHOA

Demi membalaskan dendamnya pada Tho Hwa Li, Ciu Kong lantas melakukan suatu tindakan yang agak eksentrik. Dia hanya memiliki seorang puteri bernama Ciu He Lian, namun agar dapat "membunuh" Tho Hwa Li, ia lantas "menikahkan" puterinya itu dengan Tho Hwa Li. Tentu saja sebelumnya sang puteri akan dirias sebagai pengantin pria. Ciu Kong memilihkan hari paling buruk, yang disebut Thian pia jit. Itu merupakan hari paling buruk bagi pengantin wanita. Banyak bahaya yang menanti, sehingga akan mengancam nyawa sang mempelai wanita. Berikut ini adalah bahaya beserta penangkalnya.

a.Pada hari itu saat mempelai wanita keluar dari rumahnya sendiri, dua bintang jahat, yakni Thian-sat dan Thian sin, telah siap menghantamnya, sehingga pengantin wanita mendadak jatuh tersungkur dan meninggal seketika.

PENANGKAL: Tho Hwa Li bersembahyang pagi-pagi sebelum matahari terbit, guna mengundang kehadiran dewa Liok ting Thai-sin dan Liok tha Thai sin, yang bertugas menjaga keamanan langit, sehingga sanggup mengusir Thian-sat dan Thian-sin.

b.Saat mempelai wanita telah duduk dalam tandu, bintang Ceng-liong ce (Naga Hijau) dan Pek-hou ce (Macan Putih) telah siap mencabut nyawanya.

PENANGKAL: Ceng-liong ce paling takut dengan kilin, sedangkan Pek-hou ce takut dengan burung hong (funiks). Oleh karenanya, Tho Hwa Li menempelkan kertas merah bertuliskan warna emas, yang masing-masing berbunyi "KI LIN TO CU" dan "HONG HONG TO CU." Artinya adalah "Kilin berada di sini" dan "Burung hong merah ada di sini." Dengan demikian Naga Hijau dan Macan Putih kebur ketakutan.

c.Begitu tandu tiba di rumah mempelai pria, bintang Ceng-liong ce yang gagal membunuh pengantin wanita akan kembali beraksi, sehingga mempelai wanita bisa menemui ajalnya.

PENANGKAL: Melepaskan tiga batang anak panah, sehingga Ceng-liong ce lari ketakutan.

d.Begitu mempelai wanita memasuki rumah pengantin pria, bintang Thian Kau-ce (Kera Langit) telah siap mencekiknya.

PENANGKAL: Dengan menaburkan beras kuning, sehingga Kera Langit lari ketakutan. Beras kuning itu dipercaya mampu membutakan mata Kera Langit.

e.Bintang Ngo-kui-ce (Lima Setan) telah siap menanti di balik pintu rumah Ciu Kong dan siap menerjang serta menghabisi nyawa Tho Hwa Li.

PENANGKAL: Menggunakan niru sebagai payung yang telah digambari pat kwa. Dengan demikian, Lima Setan tidak berani mendekat dan menyingkir jauh-jauh.

f.Saat kedua mempelai duduk bersama di dalam kamar pengantin guna bersantap bersama, bintang Pek-hou ce akan datang lagi dan menghantam mempelai wanita sampai tewas.

PENANGKAL: Tidak ada penangkalnya, tetapi Tho Hwa Li tidak kehilangan akal. Ia pura-pura pusing dan berbaring di ranjang pengantin. Akibatnya hanya Ciu He Lian yang duduk sendirian di depan meja pengantin. Meskipun berdandan sebagai pengantin wanita, bintang Peh-hou ce tidak dapat ditipu. Ia lantas menghantam puteri Ciu Kong tersebut hingga tewas.

Dengan demikian, justru Ciu Kong yang kehilangan puterinya. Dendamnya pada Tho Hwa Li semakin bertambah.

Kisah di atas mencerminkan sebuah ajaran bahwa manusia hendaknya senantiasa berupaya memperbaiki keadaan. Meski benar bahwa kita tidak mengetahui apakah takdir dapat diubah atau tidak. Namun berusaha menciptakan sesuatu yang lebih baik adalah lebih baik ketimbang tidak berusaha sama sekali.

3.EPILOG

Ciu Kong mencari cara lain dalam membunuh Tho Hwa Li. Ia lantas mengetahui rahasia kelemahan Tho Hwa Li, yakni ranting pohon Tho tumbuh di halaman rumah Tho Hwa Li yang menjulur ke penjuru barat. Ciu Kong meminta potongan dahan tersebut pada Tho Wan Gwe, yakni ayah Tho Hwa Li, dengan alasan bahwa benda tersebut akan dipakai sebagai wahana penujuman. Benar saja setelah ranting pohon itu dipotong, kesehatan Tho Hwa Li semakin menurun dan akhirnya sakit parah. Sebelum meninggal, Tho Hwa Li berpesan pada Peng Cian, yang pernah ditolongnya, agar membenturkan peti jenazahnya saat hendak diangkut keluar dari rumah Ciu Kong. Permintaan ini dilaksanakan, dan ajaibnya Tho Hwa Li hidup kembali. Terjadi perang tanding dengan Ciu Kong. Ternyata Ciu Kong adalah jelmaan pedang dewa, sedangkan Tho Hwa Li adalah jelmaan sarungnya. Kedua pedang itu sebelumnya adalah milik Dewa Hian Thian Siang Tee (Siang Tee Kong) sewaktu Beliau masih bertapa di Bu-tong-san. Karena memperoleh Jit Gwat jing (sari murni matahari dan rembulan), akhirnya pedang beserta sarungnya berubah menjadi manusia. Saat tengah bertarung, keduanya lantas ditangkap oleh Dewa Hian Thian Siang Tee dan diubah kembali menjadi pedang dan sarungnya.Demikianlan akhir kisah menarik tersebut.

Epilog di atas nampaknya menandakan bahwa meskipun bertentangan, keduanya merupakan kedua hal saling melengkapi dalam tradisi Tionghoa, ibarat pedang beserta sarungnya. Pedang tanpa sarung juga tidak berguna dan bisa melukai sang pemilik pedang. Sarung saja tanpa pedang juga tidak berguna, karena tak dapat melindungi seseorang.

Minggu, 17 Februari 2013

TRADISI MENGUNJUNGI DELAPAN KELENTENG SETELAH TAHUN BARU IMLEK (Tradition of Visiting Eight Temples After Chinese New Year)


TRADISI MENGUNJUNGI DELAPAN KELENTENG SETELAH TAHUN BARU IMLEK
Tradition of Visiting Eight Temples After Chinese New Year

Ivan Taniputera
17 Februari 2013

Di tengah-tengah keluarga saya terdapat tradisi mengunjungi delapan kelenteng setelah Tahun Baru Imlek. Adapun kunjungan itu sedapat mungkin dilakukan dalam sehari dan ritual ini boleh dilakukan hingga tanggal 15 bulan pertama Imlek (Capgomeh). Pada hari ini saya dalam sehari melakukan kunjungan ke delapan kelenteng/ vihara sebagai berikut:

1.VIHARA MAHA WELAS ASIH

Vihara ini berada di kompleks Perumahan Tanah Mas atau tepatnya berada di Jalan Taman Hasanudin.

Berikut ini adalah ruang kebaktian Vihara Maha Welas Asih:




Di vihara juga terdapat pratima yang mewakili keenam puluh dewa penguasa tahun berlaku (太歲 Taisui).




2.KELENTENG HAO SHENG GONG (昊聖宮)

Tidak jauh dari Vihara Maha Welas Asih terletak Kelenteng Hao Sheng Gong, yang bercorak Daoisme.

Tampak luarnya adalah sebagai berikut:



Dewata utama di kelenteng ini adalah 無極洪鈞聖祖 (Wújí hóngjūn shèngzǔ).



Penulis juga baru pertama kali mendengar nama dewa ini. Menurut keterangan penjaga kelenteng, Beliau adalah guru Laozi atau Taishang Laojun.

Berikut ini adalah pratima dewata-dewata Daois yang dipuja dalam kelenteng.



Selain itu, terdapat pula makhluk-makhluk suci yang berasal dari Buddhisme.



Kini penulis akan menampilkan interior bagian dalam kelenteng:



3.KELENTENG TAI SHANG GONG (太上宮)

Kunjungan dilanjutkan ke Kelenteng Tai Shang Guan yang juga bercorak Daoisme. Makhluk suci utamanya adalah Taishang Laojun yang merupakan gelar bagi Laozi.



Berikut ini adalah pratima Taishang Laojun:




Penulis juga mendapati pratima Tju Soe Nyo Nyo, yang juga baru pertama kali ini melihatnya.



Berikut ini adalah gambar pratima yang terdapat di bagian bawah altar Taishang Laojun.



Terdapat pula gambar Lima Jenderal pada salah satu altar di kelenteng ini.



Inilah adalah gambar-gambar dewa pintu di Kelenteng Tai Shang Gong.






4.KELENTENG JING DE MIAO (敬德廟)

Kelenteng ini terletak di Jalan Lingkar Tanjung Mas, yang juga masih masuk kompleks Perumahan Tanah Mas.



Dewata utama yang dipuja di kelenteng ini adalah Oet Ti Kiong, yang merupakan salah satu tokoh terkemuka dalam Hikayat Sie Djin Koei.




Di bagian belakang kelenteng terdapat pula pratima keenam puluh dewa Taisui.




Kita dapat menyaksikan pula pratima Ayah dan Bunda Bumi.




Berikut ini adalah sekelumit kegiatan mempersiapkan persembahyangan yang sedianya akan diselenggarakan pada hari ini juga di Kelenteng Jing De Miao



5.KELENTENG GUAN SHENG MIAO (關聖廟)

Terletak di Jalan Kali Mas, yang masih juga masuk kompleks Perumahan Tanah Mas. Dewata utamanya adalah Kwan Kong (Guan Sheng Dijun)

Kita tidak dapat menyaksikan relief sumpah pengangkatan saudara antara Liu Bei, Guan Yu, dan Zhang Fei yang terkenal dari Kisah Sam Kok.



Berikut ini adalah ruang utama Kelenteng Guang Sheng Miao.



6.KELENTENG GRAJEN

Terletak di kawasan Grajen, Jl. MT. Haryono, Semarang. Dewata utamanya adalah Xuan Tian Shangdi.

Pada hari ini kelenteng sangat ramai dikunjungi umat.



Berikut ini adalah pratima-pratima dewa pintu di Kelenteng Grajen.






7.KELENTENG BUGANGAN

Terletak di Jl. Bugagan, Dr. Cipto, Semarang. Berikut ini adalah tampak depan kelenteng.




Meja sembahyangan yang telah dipersiapkan di Kelenteng Bugangan.




Perhatikan adanya tebu yang merupakan khas tradisi Hokkian.

8.VIHARA BUDDHAGAYA-WATUGONG-SEMARANG

Kunjungan ke Vihara Buddhagaya, Watugong, menutup rangkaian kunjungan hari ini. Tampak pagoda yang terkenal selaku ciri khas Vihara Buddhagaya.




Kita dapat menyaksikan pula persiapan sembahyangan di vihara ini.



Salah satu pratima Bodhisattva Avalokitesvara (Guanyin) di Vihara Buddhagaya, Watugong, Semarang.



Demikian semoga bermanfaat dan terima kasih telah mengikuti artikel ini sampai selesai.

MAKNA PATUNG DEWA YANG RUBUH

MAKNA PATUNG DEWA YANG RUBUH. . Ivan Taniputera. 17 April 2020. . . Kemarin, atau tepatnya tanggal 16 April 2020, s...