TAKDIR VERSUS CISWA: SEBUAH RENUNGAN DARI KISAH THO HWA LI
Ivan Taniputera
27 Februari 2013
Dalam
perjalanan ke delapan kelenteng beberapa waktu yang lalu, saya
menemukan buku kisah Tho Hwa Li buah karya Gan KH ini. Sebenarnya saya
sudah pernah mendengar mengenai kisah Tho Hwa Li semenjak masih kecil
dan edisi lama buku ini saya sudah punya, namun kini tidak tahu lagi di
mana keberadaannya. Oleh karenanya, penemuan kembali buku ini di salah
sebuah kelenteng yang saya kunjungi merupakan peristiwa berharga.
Kisah-kisah dalam tradisi Tiongkok memang sarat makna dan filsafat
pemikiran.
Secara
umum, dalam buku tersebut ada hal-hal menarik, seperti asal muasal
tradisi ritual pengantin yang masih dilaksanakan hingga hari ini dan
takdir versus ciswa. Kita akan mengulasnya satu persatu.
1.TAKDIR VERSUS CISWA
Sebelum
mengulas mengenai topik bahasan ini. Saya akan memaparkan latar
belakang kisahnya secara singkat. Ciu Kong adalah seorang mantan
pembesar di masa pemerintahan Kaisar Ciu Yu Ong (781 SM) dari dinasti
Ciu (Mandarin: Chou). Karena kaisar ke-12 ini hanya gemar
bersenang-senang saja bersama selirnya bernama Po Su, Ciu Kong lantas
mengundurkan dirinya. Sebenarnya Ciu Kong ini bukanlah nama pembesar
tersebut. Namanya tidak disebutkan dalam buku ini. Ciu Kong adalah gelar
yang dianugerahkan oleh Kaisar Yu Ong, sewaktu pembesar tersebut
mengundurkan dirinya guna pulang ke desa. Arti telar itu adalah "Sesepuh
Marga Ciu." (lihat halaman 3). Selain pemberian gelar kehormatan, Ciu
Kong mendapatkan pula anugerah berupa pedang bernama Sian-cam-ho-cau
(Bunuh Dulu Urusan Belakang). Ini menandakan bahwa pemegang pedang
tersebut memiliki kekuasaan luar biasa.
Ciu Kong yang telah
mengundurkan dirinya lantas membuka profesi sebagai juru ramal. Uniknya
Ciu Kong akan memberikan ganti rugi yang besar jika ramalannya meleset
(tiga ratus lima puluh tahil perak-halaman 6). Meskipun demikian, biaya
meramalnya cukup rendah, yakni "tiga tahil setengah uang perak."
(halaman 5). Dalam sehari, ia hanya menerima tiga orang saja yang hendak
diramal. Sebagai juru penerima tamu, Ciu Kong mengangkat mantan juru
tulisnya bernama Peng Cian.
Ramalan Ciu Kong memang terbukti keakuratannya. Kendati demikian dua kali ramalan Ciu Kong meleset, yakni:
a.Putera
seorang nenek bernama Li Kho-cwan (halaman 16) yang diramal akan
meninggal. Berkat kias yang diberikan Tho Hwa Li, nyawanya berhasil
diselamatkan. Tho Hwa Li adalah gadis sakti yang pandai menciptakan
beraneka macam kias. Caranya adalah bersembahyang dengan tiga batang
dupa saat sore hari, lalu mengambil bantal anaknya, menepuk tiga kali
pada bantal disertai seruan keras memanggil anaknya. Singkat cerita,
memang kias atau penangkal ini terbukti kemanjurannya.
b.Peng
Cian sendiri diramalkan akan meninggal oleh Ciu Kong. Namun Tho Hwa Li
berhasil menyelamatkannya, yakni menyuruh Peng Cian menanti kehadiran
Delapan Dewa di sebuah kuil. Ternyata usia Peng Cian dapat ditambah 80
tahun.
Kegagalan ramalannya ini menggusarkan hati Ciu Kong
yang merasa otorita-nya tertantang. Ia lalu mencari cara membunuh Tho
Hwa Li yang akan kita uraikan belakangan.
Kini kita akan
mendiskusikan terlebih dahulu makna kisah ini. Tentu saja sebuah kisah
dapat dimakna berbeda-beda bagi masing-masing orang. Kendati demikian
saya lebih cenderung memaknainya berdasarkan pertanyaan klasik "Apakah
nasib dapat diubah?" Ini adalah sebuah pertanyaan yang telah hadir
semenjak zaman yang amat lampau. Sepanjang sejarahnya agama dan filsafat
telah berupaya memberikan jawaban bagi hal ini, sehingga kita dapat
menjumpai banyak teori tentangnya. Namun, semuanya itu akan tetap
menjadi sebuah "hipotesa" yang tidak dapat kita buktikan kebenarannya.
Mengapa? Karena kita tidak memiliki mesin waktu. Sebuah hipotesa baru
akan terbukti jika sudah diuji dengan sebuah eksperimen. Jadi secara
sederhana adalah sebagai berikut. Seorang melakukan tindakan A hingga
akhirnya mendapatkan B. Namun kita tidak tahu, jika tidak melakukan A,
apakah ia akan tetap mendapatkan B. Dalam kehidupan nyata, memang
terdapat kasus-kasus di mana seseorang telah berupaya, namun tidak
memperoleh hasil yang diharapkan. Sebaliknya, ada juga orang tidak
berusaha, tetapi malah mendapatkan sesuatu yang diharapkannya. Karena
kita tidak mampu mengujinya, pertanyaan apakah "nasib dapat diubah" akan
tetap menjadi misteri umat manusia sampai ditemukannya mesin waktu;
yakni satu-satunya alat yang dapat dipergunakan menguji berbagai
kemungkinan pararel dalam kehidupan manusia. Untuk lebih jelasnya,
pembaca dapat menonton film "Butterfly Effect." Apakah ciswa itu benar
dapat mengubah nasib? Pertanyaan ini juga mustahil dijawab. Namun kisah
di atas mencerminkan pertanyaan klasik tersebut, yakni takdir versus
ciswa.
2.RITUAL-RITUAL UPACARA PERNIKAHAN TIONGHOA
Demi
membalaskan dendamnya pada Tho Hwa Li, Ciu Kong lantas melakukan suatu
tindakan yang agak eksentrik. Dia hanya memiliki seorang puteri bernama
Ciu He Lian, namun agar dapat "membunuh" Tho Hwa Li, ia lantas
"menikahkan" puterinya itu dengan Tho Hwa Li. Tentu saja sebelumnya sang
puteri akan dirias sebagai pengantin pria. Ciu Kong memilihkan hari
paling buruk, yang disebut Thian pia jit. Itu merupakan hari paling
buruk bagi pengantin wanita. Banyak bahaya yang menanti, sehingga akan
mengancam nyawa sang mempelai wanita. Berikut ini adalah bahaya beserta
penangkalnya.
a.Pada hari itu saat mempelai wanita keluar
dari rumahnya sendiri, dua bintang jahat, yakni Thian-sat dan Thian sin,
telah siap menghantamnya, sehingga pengantin wanita mendadak jatuh
tersungkur dan meninggal seketika.
PENANGKAL: Tho Hwa Li
bersembahyang pagi-pagi sebelum matahari terbit, guna mengundang
kehadiran dewa Liok ting Thai-sin dan Liok tha Thai sin, yang bertugas
menjaga keamanan langit, sehingga sanggup mengusir Thian-sat dan
Thian-sin.
b.Saat mempelai wanita telah duduk dalam tandu,
bintang Ceng-liong ce (Naga Hijau) dan Pek-hou ce (Macan Putih) telah
siap mencabut nyawanya.
PENANGKAL: Ceng-liong ce paling
takut dengan kilin, sedangkan Pek-hou ce takut dengan burung hong
(funiks). Oleh karenanya, Tho Hwa Li menempelkan kertas merah
bertuliskan warna emas, yang masing-masing berbunyi "KI LIN TO CU" dan
"HONG HONG TO CU." Artinya adalah "Kilin berada di sini" dan "Burung
hong merah ada di sini." Dengan demikian Naga Hijau dan Macan Putih
kebur ketakutan.
c.Begitu tandu tiba di rumah mempelai
pria, bintang Ceng-liong ce yang gagal membunuh pengantin wanita akan
kembali beraksi, sehingga mempelai wanita bisa menemui ajalnya.
PENANGKAL: Melepaskan tiga batang anak panah, sehingga Ceng-liong ce lari ketakutan.
d.Begitu mempelai wanita memasuki rumah pengantin pria, bintang Thian Kau-ce (Kera Langit) telah siap mencekiknya.
PENANGKAL:
Dengan menaburkan beras kuning, sehingga Kera Langit lari ketakutan.
Beras kuning itu dipercaya mampu membutakan mata Kera Langit.
e.Bintang
Ngo-kui-ce (Lima Setan) telah siap menanti di balik pintu rumah Ciu
Kong dan siap menerjang serta menghabisi nyawa Tho Hwa Li.
PENANGKAL:
Menggunakan niru sebagai payung yang telah digambari pat kwa. Dengan
demikian, Lima Setan tidak berani mendekat dan menyingkir jauh-jauh.
f.Saat
kedua mempelai duduk bersama di dalam kamar pengantin guna bersantap
bersama, bintang Pek-hou ce akan datang lagi dan menghantam mempelai
wanita sampai tewas.
PENANGKAL: Tidak ada penangkalnya,
tetapi Tho Hwa Li tidak kehilangan akal. Ia pura-pura pusing dan
berbaring di ranjang pengantin. Akibatnya hanya Ciu He Lian yang duduk
sendirian di depan meja pengantin. Meskipun berdandan sebagai pengantin
wanita, bintang Peh-hou ce tidak dapat ditipu. Ia lantas menghantam
puteri Ciu Kong tersebut hingga tewas.
Dengan demikian, justru Ciu Kong yang kehilangan puterinya. Dendamnya pada Tho Hwa Li semakin bertambah.
Kisah
di atas mencerminkan sebuah ajaran bahwa manusia hendaknya senantiasa
berupaya memperbaiki keadaan. Meski benar bahwa kita tidak mengetahui
apakah takdir dapat diubah atau tidak. Namun berusaha menciptakan
sesuatu yang lebih baik adalah lebih baik ketimbang tidak berusaha sama
sekali.
3.EPILOG
Ciu Kong
mencari cara lain dalam membunuh Tho Hwa Li. Ia lantas mengetahui
rahasia kelemahan Tho Hwa Li, yakni ranting pohon Tho tumbuh di halaman
rumah Tho Hwa Li yang menjulur ke penjuru barat. Ciu Kong meminta
potongan dahan tersebut pada Tho Wan Gwe, yakni ayah Tho Hwa Li, dengan
alasan bahwa benda tersebut akan dipakai sebagai wahana penujuman. Benar
saja setelah ranting pohon itu dipotong, kesehatan Tho Hwa Li semakin
menurun dan akhirnya sakit parah. Sebelum meninggal, Tho Hwa Li berpesan
pada Peng Cian, yang pernah ditolongnya, agar membenturkan peti
jenazahnya saat hendak diangkut keluar dari rumah Ciu Kong. Permintaan
ini dilaksanakan, dan ajaibnya Tho Hwa Li hidup kembali. Terjadi perang
tanding dengan Ciu Kong. Ternyata Ciu Kong adalah jelmaan pedang dewa,
sedangkan Tho Hwa Li adalah jelmaan sarungnya. Kedua pedang itu
sebelumnya adalah milik Dewa Hian Thian Siang Tee (Siang Tee Kong)
sewaktu Beliau masih bertapa di Bu-tong-san. Karena memperoleh Jit Gwat
jing (sari murni matahari dan rembulan), akhirnya pedang beserta
sarungnya berubah menjadi manusia. Saat tengah bertarung, keduanya
lantas ditangkap oleh Dewa Hian Thian Siang Tee dan diubah kembali
menjadi pedang dan sarungnya.Demikianlan akhir kisah menarik tersebut.
Epilog
di atas nampaknya menandakan bahwa meskipun bertentangan, keduanya
merupakan kedua hal saling melengkapi dalam tradisi Tionghoa, ibarat
pedang beserta sarungnya. Pedang tanpa sarung juga tidak berguna dan
bisa melukai sang pemilik pedang. Sarung saja tanpa pedang juga tidak
berguna, karena tak dapat melindungi seseorang.